Selasa, 10 Februari 2009

Cinta Lelaki Biasa

Cerpen ini aku persembahkan for You My Lovely Husband
Thanks for everthing.......
to be honest...you are my greatest!!

Cinta Laki-laki Biasa Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa
..............

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa diamau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hariyang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak,tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya."Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-harisidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikanlampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yangbarangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.Semua menunggu. Tapi ta k ada apapun yang keluar dari sana . Ia hanya menariknafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil danspesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian dikampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yangpertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafliuntuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karenasemua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yangsudah berkeluarga membawa serta buntut mereka."Kamu pasti bercanda!"Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua,disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papadan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Naniabercanda.Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yangbalita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Raflimemang melamarnya."Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafliberani melamar anak Papa yang paling cantik!"Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertandabaik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah ituberpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuhseleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknyapesakitan."Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan ?" Mama mengambil inisiatifbicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapasaja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"Nania terkesima."Kenapa?"Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana,sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara bacapuisi seprovinsi. Suaramu bagus!Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmuyang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-lakimanapun yang kamu mau!Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraianmereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan."Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang dikelopak.Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangattidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah."Tapi kenapa?"Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikanbiasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangatbiasa.Bergantian tiga saudara tua Nania mencob a membuka matanya."Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"Cukup!Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadiparameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di manatawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihatpencapaiannya hari ini?Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkalikarena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu takpunya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'.Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Naniamenapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya Nania bahagia.Mereka akhirnya menikah.***Setahun pernikahan.Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik dibelakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania<>masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak dimata mereka.Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hinggaNania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau caradia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangatbahagia."Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat takpercaya."Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!""Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!""Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali inidilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.Tapi Rafli juga ti dak jelek, Kak!Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan ?Rafli juga pintar!Tidak sepintarmu, Nania.Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adikmereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma."Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkantidak perlu lelaki untuk menghidupimu."Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudahmenikah dan sebentar lagi punya anak.Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. PadahalNania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satuperempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah merekamemiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih daricukup untuk hidup senang."Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalumemforsir diri."Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlukhawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanyamaksud baik."Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itusesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Naniacerah.Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, denganpendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amatsangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakingemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania b esar, anak-anak pintardan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan ituberada di puncak!Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas danbergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dankiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.Cantik ya? dan kaya!Tak imbang!Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Naniabelajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaanbahagia yang kian membukit dari hari ke hari.Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak.Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktuitu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.***Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggudari waktunya."Plasenta kam u sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segeradikeluarkan!"Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalamrahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itumerasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalamhitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanyawaktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, danmenunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak sertaorangtua Nania belum satu pun yang datang.Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obatpertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit danmelilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapipembukaan berjalan lambat sekali."Baru pembukaan satu.""Belum ada perubahan, Bu.""Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudianmenyemaikan harapan."Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksamemiliki sense of humor yang tinggi.Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulukelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset."Masih pembukaan dua, Pak!"Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yangsudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya."Bang?"Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan duakehidupan."Dokter?""Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."Mungkin?Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?Bagaimana jik a terlambat?Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karenaRafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi.Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekatditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilandokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahuyang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, danlangkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkandiri.Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibirlelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat."Pendarahan hebat."Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.Ada varises di mulu t rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenungbeberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnyadan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.***Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik darikediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan jugaanak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itusungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampaiempat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania dirumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil.Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Naniadengan Rafli.Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumahsakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaantempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasiRafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Qurankecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadangperawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka,melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercandamesra.Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya."Nania, bangun, Cinta?"Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dankening istrinya yang cantik.Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikiruntuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit,mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelakiitu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanyadengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil takbosan-bosannya berbisik,"Nania, bangun, Cinta?"Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. AsalkanNania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahayadi mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumbersemangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya.Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama takbercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.Ia ingin mel ihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerakbibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yangcantik. Nania sudah tidur terlalu lama.Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penatRafli adalah yang pertama ditangkap matanya.Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania danmendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmatayang meleleh.Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahunterakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak kesekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itucepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senjadatang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuhcinta.Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkanwajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Naniaselalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalumeyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuanpaling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran,nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, sepertijuga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitubertahun-tahun.Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang disekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yangberkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyumhangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya dijalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puashanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semuaberbisik-bisik."Baik banget suaminya!""Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!""Nania beruntung!""Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.""Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminyamemandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi,merasa tak berani, merasa?Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang dilu ar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalubegitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayahmereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anakyang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebihdari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meskikecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdirdari tangannya.Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasayang tak pernah berubah, untuk Nania.Diketik ulang oleh Juli Prasetio Utomo, 28 Juni 2005, dengan pembenahanbeberapa ejaan dan tanda baca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar